Senin, 02 Maret 2009

Gas Untuk Indonesia

Ketika harga minyak mentah menyentuh angka di atas US$147 per barel hampir semua industri yang mengandalkan bahan bakar minyak (BBM), melakukan langkah penghitungan biaya produksi kembali. Berbagai langkah dilakukan oleh pengusaha akibat dampak kenaikan harga minyak mentah dunia itu. Salah satunya dengan merubah prioritas penggunaan bahan bakar minyak menjadi bahan bakar gas. Sehingga permintaan akan gas alam menjadi meningkat.

Sebagai contoh yang terjadi di Jawa Timur. Persoalannya sekarang, antara permintaan dan penawaran gas di provinsi itu kini terjadi ketimpangan. Artinya, permintaan terhadap penggunaan gas melonjak drastis, sementara pasokan terbatas. Minimnya pasokan gas terhadap industri, baik sektor manufaktur maupun jasa/komersial yang terjadi di Jawa Timur ini sampai saat ini masih berlanjut dan belum dapat diatasi.

Salah satu pengguna gas terbesar di Jawa Timur adalah PT Petrokimia Gresik. BUMN pupuk itu kini memperoleh pasokan 43 MMscfd/juta kaki kubik per hari dari Kodeco dan Kangean Energy. Selain itu, sejumlah industri juga membutuhkan pasokan gas yang kebanyakan dipasok oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN).

Akibat kekurangan pasokan gas, industri bisa dipastikan tidak mampu berproduksi secara optimal sesuai dengan kapasitas yang seharusnya. Kondisi tersebut berdampak terhadap tidak terdongkraknya pemenuhan volume barang ke pasar domestik dan ekspor.

Direktur SDM & Umum PT Petrokimia Gresik, Bambang Setiobroto mengemukakan BUMN itu tahun ini hanya memperoleh pasokan gas 43 MMscfd dari kebutuhan 60 MMscfd. Jadi, hanya sekitar 70% pasokan gas yang diterima.

Kondisi itu menyebabkan mereka hanya mampu memproduksi pupuk urea 80% dari kapasitas terpasang 460.000 ton/tahun. Adapun, kapasitas terpasang amonia 455.000 ton/tahun.

Bahkan, rencana pengembangan pabrik amonia dan urea Petrokimia Gresik pun harus ditunda. Di sisi lain, potensi kebutuhan urea kalangan petani dalam negeri maupun pasar internasional masih cukup besar untuk digali.

Setelah dicari penyebab kurangnnya produksi gas dalam negri dikarenakan sumur-sumur yang dioperasikan itu cenderung menurun produksinya akibat sudah tua. Contohnya, produksi sumur yang dioperasikan Lapindo Brantas kini sudah turun drastis.

Produksi Lapindo cenderung menurun. Lapindo kini hanya memasok 9,3 MMscfd dibandingkan dengan awal tahun ini 11 MMscfd dan pada 2007 hanya 13 MMscfd.

Selain disebabkan sumur telah tua, pasokan gas ke pabrik belum optimal akibat terkendala terbatasnya pipa transmisi milik Pertamina di Porong yang meledak akhir November 2006. Ledakan tersebut membuat penyaluran gas dari Kangean ke Porong melalui jaringan East Java Gas Pipeline (EJGP) sepanjang 360 kilometer sempat tersendat.

Kondisi ini menjadi semakin panas dengan rencana tiga negara produsen gas terbesar dunia yaitu Rusia, Iran, dan Qatar sepakat membentuk organisasi pengekspor gas seperti halnya OPEC untuk negara pengekspor minyak. Indonesia dikabarkan akan bergabung dengan organisasi tersebut, organisasi yang kemungkinan dinamakan Organization of Gas Exporting Countries (OGEC) itu.

Indonesia dinilai tidak perlu masuk sebagai anggota dalam organisasi pengekspor gas yang sedang diwacanakan pembentukannya. Tetapi menurut Direktur Eksekutif Refor Miner Institute Pri Agung Rakhmanto, potensi gas Indonesia lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan gas domestik karena akan menciptakan efek multiplier bagi ekonomi nasional.

Menurut Pri Agung, orientasi penggunaan gas Indonesia ke depan seharusnya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik. Karena melihat kondisi industri domestik seperti pupuk (PIM), industri keramik di Jawa Barat, dan PLN saat ini masih kesulitan mendapatkan gas.

Karena perenan gas dimasa yang akan datang akan menggantikan posisi minyak bumi yang semakin menurun cadangannya.

Mereka membentuk organisasi itu dengan melihat cadangan gas Rusia yang mencapai 1682 TCF atau sekitar 47,7% cadangan dunia, Qatar 895 TCF (25,3%) dan Iran 992 TCF (28,1%). Lalu bagaimana Indonesia, cadangan gas Indonesia ternyata jauh sangat kecil jika dibandingkan tiga negara tersebut. Cadangan gas di Indonesia hanya 92 TCF atau hanya 1,5% dari total cadangan gas dunia, sementara ketiga negara diperkirakan mencapai 15-20 kali lipat Indonesia.

Dengan cadangan seperti itu, maka posisi Indonesia hanya akan menjadi anak bawang, sama seperti di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Jadi wajar jika tiga Negara tersebut membentuk organisasi pengeksport gas.

Di sisi lain pemerintah juga sedang mengalami dilemma yang cukup pelik, adalah kasus Blok Natauna. Kontrak kerja dengan pihak Exxon Mobil yang telah berakakhir, dan sempat berujung di pengadilan Arbitrase Internasional yang akhirnya dimenangkan oleh pihak pemerintah Indonesia saat ini sedang hangat dibicarakan. Pengolahan Blok Natuna yang dikatakan sebagai sumber gas terbesar didunia ini menjadi masalah, apakah akan diolah oleh Pertamina atau akan diberikan kekuasaan pengolahan kepada pihak asing. Pertamina merasa ragu untuk mengolahnya, dikarenakan faktor teknologi dan keuangan yang dimiliki oleh Pertamina belum memadai.

Sempat beredar kabar bahwa kedatangan Mentri LN Amerika adalah lobby kepada pemerintah untuk memberilkan lagi Blok Natauna ini kepada Exxon Mobil untuk mengolahnya kembali. Dan kabar lain juga menyebutkan bahwa ketika Wakil Presiden RI sedang berkunjung ke Belanda juga di lobby oleh Perdana Mentri Belanda, padahal perdana Mentri Belanda sedang menghadiri konfrensi Uni Eropa, agar Sheell yang mengolah Blok Natuna.

Ini adalah bukti bahwa Natuna memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Buktinya saja dua perusahaan pengolahan Migas terbesar dunia Exxon dan Sheell berebut untuk mengolah Blok Natuna. Bahkan petinggi Negara mereka pun yang langsung melobby pemerintah RI.

Hal ini perlu diwaspadai oleh pemerintah, jangan sampai membuat kesalahan kontrak kerja dengan perusahaan asing seperti kesalahan kontrak dengan FreePort dan NewMount yang pada akhinya merugikan Bangsa Indonesia. Dan sebaiknya Pertamina harus berani mengambil alih Blok Natuna. Jangan takut dengan kekuranga teknologi dan keuangan.

Untuk itu pemerintah sebaiknya memberi kebijakan dengan meremajakan sumur-sumur yang sudah tua dan mencoba mencari cadanagan gas yang baru. Serta membuka jalan untuk memudahakan pendistribusiannya kepada pabrik-pabrik industri yang membutukhan gas untuk produksi mereka. Tetapi dengan syarat seluruh potensi gas di Indonesia tidak dikelola ataupun dieksport kepada pihak asing. Karena Gas Indonesia hanya untuk Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar